Sabtu, 16 Juni 2018

Record 2 (2/2) - Catatan Perjalanan Calon Anggota


Puncak Pertama

Jum’at 9 Maret 2018
Masih di hari yang sama, saat kami datang ke desa pertama kali di pagi tadi sebelum tengah hari. dan akhirnya, hari sudah terik menuju sore, ketika sinarnya semakin terang dan suhunya mulai tak terjelaskan, dingin, sejuk, bercampur sinar matahari yang tak menyerah mencoba memanaskan kami.
Sosiologi pedesaan selesai, maka tujuan sebenarnya datang ke daerah itu adalah pemabahasan selanjutnya. Informasi informasi yang kami dapatkan dari warga desa juga di pergunakan untuk mengetahui bagaimana caranya memasuki hutan dan mencapai Deleng Barus, gunung yang tak setinggi gunung gunung besar terkenal lainnya, yang juga sebenarnya adalah gunung merapi muda dan juga tak seterkenal apalagi seganas gunung gunung besar lainnya.
Peta dan Kompas kini mengambil peran, jika tadi berbincang bincang dengan bahasa kali ini kami bermain dengan angka. Memastikan arah dan jalur yang sebelumnya telah di siapkan dari peta maka kenyataannya sungguh berbeda dengan alam sebenarnya. Masih penuh dengan pengalaman pertama, pertama kali menggunakan peta di alam sebenarnya, pertama kali mencocokkan objek dipeta dengan alam sebenarnya, pertama kali mencari jalur dari peta dengan alam sebenarnya, dan pertama kali kami harus benar benar di pusingkan karena peta.
Kelompok kami, jauh lebih lama dari pada kelompok satunya dalam menentukan jalaur mana yang harus di capai. Setelah di desak oleh para instruktur, akhirnya kami memilih mencoba mengambil resiko dari pada hanya berdiam diri tanpa kepastian. Jalur pertama adalah menerobos semak semak yang segaris lurus dengan arah Kompas. Dan Gagal! Tertembus, berputar, dan mencoba cari jalan yang lain dengan tujuan dan arah yang sama, GAGAL lagi! Beberapa kali, mecoba menerobos dan mencuri curi jalur mana saja yang ada untuk arah yang sama, masih gagal dan kami akhirnya kembali pada titik pertama. Percayalah, menggunakan peta dan kompas untuk pertama kali jauh lebih sulit dari yang terbayangkan.
Atas arahan instruktur, kami mulai mencari jalan mengitar yang lebih jauh, melewati pohon pinus, masuk ke hutan dan mencari jalan dari sana dengan arah yang sama. Dan dari pada sebelumnya, jalur dari hutan yang memutar lebih menunjukkan hasil positif dari pada menerobos semak semak setinggi orang dewasa yang sama sekali berbeda dengan semak semak yang ada di pinggiran jalan.
Ada beberapa jalan setapak, tapi kami bukan mengikuti jalan, melainkan menentukan jalan kami sendiri. Mencari perpotongan sungai sebagai titik awal yang kami tentukan sesuai dipeta, tapi sampai akhir, akmi hanya bertemu aliran air kecil seperti parit yang tak pernah terbayangkan adalah sungai yang kami sebut sebut dipeta. Setelah berjalan cukup jauh, perpindahan arah di kompas dan hutan yang semakin dalam, akhirnya instruktur memberi kesimpulan dan menambahkan informasi, bahwasanya kami sejak tadi sebenarnya telah melewati titik yang kami cari cari. Walau merasa bodoh dan masih belum terlalu mengerti sebenarnya jalan mana yang benar, setidaknya yang kami cari telah kami dapati. Titik A, perpotongan dua sungai yang sama sekali tidak terlihat seperti sungai itu telah di temukan secara samar samar dan itu cukup membuat kami di izinkan kembali ke peristirahatan pertama.
Sore sudah benar benar datang, setelah sedikit instruksi dan arahan, kami di berikan waktu untuk mendirikan Bivak kami masing masing di sekitaran pondok, sekaligus waktu untuk makan yang artinya juga memasak. Tak banyak waktu, semua membagi tugas, dan masing masing sibuk dengan kelompoknya. Anak anak baru yang masih belum sadar dengan keutuhan kelompok sebenarnya bukanlah kelompok kecil yang ada di dalam kelompok kami, melainkan kesuksesan kami ber enam secara keseluruhan. Dan sore itu kami baru menyadarinya.
Bivak yang sulit di bangun, kompor yang hidup mati karena baru pertama kali memasak menggunakannya, di tambah suhu dingin dan waktu yang mengejar, kami jauh lebih cemas dan kacau dari mencari jalur. Dan benar, kami terlambat. Evaluasi di lakukan di dalam pondok dengan penerangan dari headlamp dan senter. Instruktur memberikan kami teh hangat dan masing masing dari kami menjelaskan apa yang kami alami dan rasakan sejak malam karantina hingga hari itu sampai di desa.
Kurang lebih pukul 9, kami di persilahkan istirahat di luar, di bivak kami masing masing dengan suhu yang sekarang benar benar terasa dingin. Ada beberapa kejadian sebelum tidur, mulai dari anjing warga penjaga lahan yang sempat heboh menggonggong karena salah paham mengira kami penyusup dan entah karena apa dia kemudian menghilang begitu saja, sampai aku, ya aku! Benar benar kedinginan sampai menggigil dan hampir terkena masalah kalau bukan karena ada beberapa teman yang berhasil bangun karena suara lirih dari aku yang sudah tak bisa apa apa dan akhirnya harus beristirahat di pondok. Pribadi, aku memang tak tahan dingin, dan sepertinya belum mampu menyesuaikan diri dengan alam. Masih pertengahan malam, dan aku sudah menggigil bergetar, setelah akhirnya menyerah dengan kondisi fisik yang lemah, aku berintirahat sendiri di pondok sedangkan teman teman yang lain di luar, maaf untuk itu, tapi pukul 04.45 dini hari, walau masih dengan dingin yang tak bersahabat, aku jauh lebih baik dan mengambil peran untuk membangunkan semua anggota. Menyegerakan memasak dan membereskan barang walau pada akhirnya, kami masih terlambat, setidaknya, pagi itu kami sarapan dengan benar dari pada makan malam yang penuh masalah hanya karena kompor yang belum bisa di atasi.
Sabtu
10 Maret 2018
Pagi datang dengan cepat, setelah pemanasan dan arahan, kedua kelompok bergerak terpisah, memastikan beberapa saat arah jalur yang telah kami cari di hari Jum’at menjadi jejak yang kami lalui lagi. Berharap mengulang kesuksesan tak jelas di hari sebelumnya, akhirnya kami memang gagal lagi. Kami berjalan terlalu jauh, dua kali bolak balik menyusuri jalan setapak dan akhirnya mulai mendaki. Jalur dan treknya mulai bervariasi. Tak ada jalan setapak yang harus kami ikuti, melainkan harus menciptakan jalur sendiri dan sekuat tenaga mengabaikan jalur jalur yang sudah ada. Masih bersama kesulitan dan kebingungan, kurang paham membaca bentang alam dan arah yang jelas namun tak di mengerti membuat perjalanan jauh lebih lambat dan memakan waktu lebih lama dari seharusnya.
Semakin jauh berjalan, salah satu anggota kami mulai kelelahan, dan masalah di perjalananpun di mulai. Sembari bingung menentukan jalur, teman yang kelelahan juga menjadi hambatan bagi kelompok. Tapi kami harus tetap pergi, tak ada pilihan selain terus melanjutkan perjalanan. Di sana, pelajaran paling utama dalam perjalanan akhirnya kami dapatkan. ‘memaksa diri’. Jika selama ini,  aku lebih sering mendengar kata kata ‘jangan paksakan dirimu’, maka kali ini, ‘paksakan terus dirimu’ adalah kata kata yang paling sering kami ucapkan. Di alam, tak ada diskriminasi dan belas kasihan. Jika bukan diri sendiri, maka tak ada yang bisa di harapkan untuk menyelamatkan diri. Sembari saling menyemangati, instruktur terus mengikuti kemanapun kami pergi. Beberapa kali memberi waktu istirahat untuk mengumpulkan tenaga, dan masih belum menemukan titik terang dari tujuan kedua kami, yaitu titik B, kami sudah menghabiskan waktu setenga hari.
“Tapi, di tengah tengah perjalanan. Dengan segala kesusahan dan masalah yang kami hadapi, untuk ku, di dalam hati yang paling dalam, aku sedang bersorak girang karena apa yang sedang aku lakukan. 19 tahun sudah hidup di dunia ini, ini adalah pertama kalinya aku benar benar memasuki hutan, mendaki dan menapaki jalur jalur di hutan yang sebenarnya, bukan hutan perkebunan bahkan ini adalah gunung yang nyata. Walau memang bukan gunung yang besar, tapi siapa yang peduli. Yang selama ini aku impikan adalah, meihat langit di antara pepononan rapat dan berjalan di tanah yang juga di penuhi semak semak. Walau hanya sebuah mimpi dan hal yang sederhana, tapi percayalah, saat itu, aku bahkan mungkin sama senangnya saat berhasil memenangkan kontes busana muslim tingkat provinsi dan menjadi pemenang satu satunya emas dari kotaku yang tak pernah bisa kubayangkan. Melewati jalur yang bersebelahan langsung dengan jurang, akar akar besar yang menjulur dari atas dan bawah tanah, pohon pohon besar dengan batang dan akar yang tak bisa ku jelaskan hanya dengan kata kata, tumbuhan tumbuhan seperti spons dan beragam jamur warna warni. Segala serangga termasuk pacat yang menjijikkan dan ulat ulat berbagai ukuran, sesaat aku merasa seperti berada di lautan dalam versi daratan yang indahnya mengalahkan segala beban dan lelah di tubuh.
Walau terdengar melebih lebihkan, ini adalah sudut pandang dari seseorang yang telah lama bermimpi dan mimpinya jadi kenyataan. Mimpi sedehana dari seseorang yang sebelumnya hanya dapat menatap gambar hutan dan pepohonan, dan kali ini bisa mencium bau hutan dan udara yang dingin dalam kenyataan. Bahkan sepertinya, aku menemukan beberapa spot seperti yang ku lihat di game dan gambar dihutan itu, dan aku hampir berteriak kegirangan menginjakkan kaki di sana.
Maka sungguh, nikmat tentang menggapai mimpi itu bukan hanya tentang menjadi seseorang yang kau cita citakan. Mimpi sederhana seperti ini juga sesuatu yang terkadang tak bisa di lupakan dan hanya di mengerti oleh diri sendiri. Tapi itulah yang kurasakan. mungkin tak semua bisa mengerti, dan memang tak harus di mengerti orang lain. Karena apa yang kurasakan adalah kenikmatan untuk diri sendiri dan yang mau mengerti saja.”
Di perjalanan kami bertemu dengan kelompok lainnya yang sepertinya juga kesusahan dan kesulitan. Arah dan jalur kami kebetulan sama, maka beberapa saat kami berjalan bersama. Dengan sedikit emosi yang berbeda antar teman, sepertinya alam benar benar menunjukkan siapa kami sebenarnya, membuat perjalanan itu di penuhi ketegangan. Sampai akhirnya makan siang, pelan pelan, kami saling bercanda, tak ingin menambah masalah di antara segudang masalah di perjalanan pertama kami. Perjalanan berikutnya kami kembali berpisah, dan teman yang lemah semakin lemah. Baik instruktur dan kami anggota yang lain, tak berhenti menyemangati teman kami. Tak ada pilihan untuk berhenti apalagi menyerah. Seharusnya hari ini kami sampai di puncak, dan waktu yang kami lewati telah jauh melampaui waktu yang di tentukan.
Jalur yang semakin menanjak, suhu dingin dan hujan yang datang silih berganti sesuka hati. Tanpa sadar, seluruh pakaian kami basah kuyup. Di penuhi lumpur dan kotor. Tapi, setidaknya, perjuangan itu benar benar berhasil dan tak ada masalah fatal. Pukul 3 sore kami sampai di titik B. menuju ke titik titik berikutnya jauh lebih singkat, tapi kami benar benar tak bisa mengejar puncak di satu hari yang sama. Dan akhirnya, Camp kedua di letakkan di puncak bohong, puncak gunung yang bukan puncak sebenarnya, yaitu dataran tertinggi kedua selain puncaknya yang sesungguhnya.
Dingin karena basah, dingin karena dataran tinggi, dingin karena memang suhu di sana sudah dingin, sekali lagi, dan kali ini benar benar menjadi masalah untuk diriku pribadi. Hanya berhenti sebentar, untuk arahan dan nafasku sudah tersenggal. Masalah yang membuatku selama ini tak pernah bisa pergi ke gunung, yaitu sesak nafas karena udara dingin yang tak tertahankan. Tapi untunglah, instruktur kami jauh lebih sigap dari yang kubayangkan. Oksigen dari mereka benar benar membantu, bahkan untuk semalaman yang kulewati di tempat yang lebih dingin dari pada sebelumnya sama sekali tak membawa masalah yang sama untuk kedua kalinya.
Untuk malam ini, kami setuju mendirikan bivak kelompok, kami berendam akan tidur di bivak yang sama dengan pembatas sleepingbag masing masing. Tak ada yang perlu di khawatirkan mengingat tak ada yang sempat berfikir aneh aneh di situasi dan kondisi seperti itu, toh, masing masing tidur di dalam kepompongnya sendiri sendiri.  Setelah evaluasi yang di adakan di tempat yang sama, akhirnya pukul setengah sepuluh kami semua sudah masuk ke bivak, jauh lebih cepat tidurnya karena dingin yang luar biasa.
Minggu
11 Maret 2018
Pagi juga sepertinya datang lebih cepat, hampir dari kami semua terlambat bangun dan sulit bergerak karena dingin yang tak terkatakan lagi. Tapi, tak bisa berlengah lengah bahkan secepat apapun kami berusaha, pada akhirnya kami masih terlambat lagi. Pagi itu, kami jauh lebih terlambat dari yang sebelumnya, dan cukup menambah deretan hutang konsekuensi yang harus kami bayar karena terlambat selama ini.
Tapi tak lama lama, mengingat hari ini kami harus sampai puncak dan harus kembali pulang juga, maka perjalanan kembali di mulai. Kelompok kami lagi lagi lebih lama dalam menentukan jalur, tapi siapa sangka, karena keadaan jalur yang menurun, hanya 10 menit kami sampai di titik berikutnya. Yaitu lebahan di antara dua puncak.
Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan untuk menuju puncak yang sebenarnya, kembali mendaki, dan jalur lebih buruk, lebih curam, banyak batang batang pohon dan tanah basah di sana sini. Salah satu angota kami kembali bermasalah dengan kelelahan bahkan jauh lebih cepat dari sebelumnya, maka cobaan untuk grup kembali lagi. Tapi, tak ada yang mau menginap semalam lagi, maka satu satunya jalan adalah secepat cepatnya sampai di puncak, dan secapt cepatnya sampai kembali. Itu adalah satu satunya pilihan.
Menarik, menyemangati dan mendorong terus teman kami adalah hal terakhir yang dapat kami lakukan, dan syukurlah, tak sampai tengah hari, kami sampai di puncak, yang di tandai dengan sebuah pilar yang berbentuk segi empat dan ada beberapa angka dengan makna tersirat terukir di sana. Pada kenyatananya, kami telah melewati puncak tertinggi untuk mencapai pilar yang tak dibangun di puncak sebenarnya. Dengan alasan dan tujuan tertentu pilar itu di bangun di dataran yang sedikit lebih rendah dari puncak sebenarnya.
Setelah menikmati keberhasilan pertama kami mencapai tempat itu, maka masalah berikutnya adalah jalan pulang. Namun, ada kebahagiaan sederhana terjadi di sana, instruktur kami memberikan kami hadiah kecil yang sudah termasuk istimewa sebenarnya untuk kami karena mungkiiiin, kami telah berhasil sampai di puncak.
Perjalanan pulang di pimpin langsung oleh instruktur. Tak perlu repot mencari jalan menggunakan peta dan kompas, kami hanya perlu megikuti instruktur kami, tapi ternyata itu juga tak mudah. Lagkah instruktur kami yang sebenarnya adalah wanita ternyata jauh lebih cepat, bahkan ketua tim kami tak ada yang bisa mengejar, ditambah teman kami ada yang benar benar lambat maka perjalanan pulang itu terasa seperti kejar kejaran yang tiada akhir.
Berhenti beberapa kali, untuk makan siang sampai pembagian beban, berharap itu akan membantu teman yang jalannya lebih lambat dari kami semua, dan ya, secara pribadi karena aku berjalan dengannya sejak awal, dia memang lebih cepat walau kata senior, itu masih lambat.
Jalurnya sedikit berbeda dari jalur naik, tapi menuruni gunung jauh lebih berat sepertinya dari pada naik, karena jalan jalan yang sebelumnya di panjat harus di turuni, entah bagaimana menjelaskannya, tapi kami jauh lebih sering tersungkur dan terjerembab saat turun dari pada naik. Baik pacat, duri, air, dan lumpur, tak ada yang perduli lagi. Tubuh kami sudah pasti memar memar, terantuk sana sini dan terbentur kemana mana, di tambah beban yang beratnya sudah dua kali lipat karena tas yang basah benar benar terasa seperti perjuangan, tapi itu adalah pengalaman pertama.
Pukul 3 sore kurang lebih, akhirnya kami melihat cahaya yang berbeda, bukan cahaya matahari yang terus terusan terhalang oleh pepohonan rimbun, tapi cahaya matahari yang langsung mencapai tanah karena kami telah sampai di desa.
Entah bagaimana leganya, akhirnya sudah benar benar keluar dari hutan yang awalanya sangat ingin kami masuki, sudah sampai , dan perjalanan berikutnya bukan lagi masalah yang berarti.
Di peristirahatan pertama, instruktur yang sebelumnya tidak ada kali ini terlihat di sana, sepertinya mereka menyusul untuk mengiringi pulang. Hanya sedikit pengarahan dan penyambutan dengan buah strawberry pemeberian warga, akhirnya kami benar benar pulang dengan berjalan kaki menuju simpang tongkoh, dan dengan, keadaan baju dari ujung kepala sampai kaki kotor dan lembab. Sama seperti saat pergi, kami menunggu bus di pinggir jalan yang entah mengapa kali ini benar benar lama. Hampir lebih satu jam kami menunggu bus dan menjadi objek tontonan orang orang yang lalu lalang di pinggir jalan. Dan setelah dapat, tak sekaligus semuanya pulang di satu bus, setengah dari isntruktur harus menunggu bus berikutnya, sedangkan kami berenam dan 4 instrutur yang juga menemani kami mendaki pulang lebih dulu.
Perjalanan pulang kami isi dengan tidur. Lelah dan segala syukur akhirnya bisa pulang tertuang dari lelapnya kami semua selama perjalanan sampai suhu mulai menjadi hangat saat memasuki kota medan.
Sampainya di simpang pos, hari sudah gelap, dan kami berhenti menunggu instruktur lain yang sednag dalam perjalanan. Setelah semua berkumpul di satu bus, kami di antar oleh bus yang sama sampai ke sekretariat organisasi. Sesampainya di sana, di adakan evaluasi dengan seluruh instruktur dan senior. Kurang lebih pukul sembilan kurang, kami selesai melakukan kegiatan lapangan dan di izinkan pulang dengan tugas baru yaitu membuat laporan. Tapi itu adalah cerita berikutnya, yang setidaknya, kegiatan lapangan yang sebenarnya telah berhasil di lewati, dan seperti kata kebanyakan senior kami, ‘perjalanan yang berhasil bukan perjalanan sampai kepuncak, tapi saat yang pergi dapat kembali pulang dengan selamat dan tanpa kekurangan sesuatu apapun’. Maka, dengan kategori itu, perjalanan pertama kami telah berhasil.

Record 1 (1/2) - Catatan Perjalanan Calon Anggota


Tugas Pertama

Pengalaman pertama. Di dunia ada 1001 hal hal yang belum pernah bersentuhan langsung dengan cerita kehidupan remaja yang beranjak dewasa. Dan hanya dalam beberapa hari, tumpukan pengalaman baru itu menenggelamkan remaja remaja yang berani bertaruh dan memilih berjalan di bawah naungan Kompas yang sebenarnya.
8 Maret 2018, kamis sore. Keenam calon anggota yang bertahan dengan bayangan teman teman lainnya di ingatan masing masing heboh memenuhi Carier 60 liter mereka di awasi mata mata senior yang pastinya tak hanya sekedar mengawasi, tetapi juga menilai dan memastikan. Setelah selesai berkutat dengan barang pribadi dan kelompok masing masing, dan pakaian lapangan yang kebanyakan masih baru sehingga kaku membalut tubuh kami menandakan kami siap di karantina.
Karantina yang dimaksud tak lebih adalah pertanda bahwa kehidupan pecinta alam yang sebenarnya akan di mulai sejak malam itu. Dan benar saja, kami berenam di haruskan menginap saat karantina bukan berarti akan tidur enak di bangunan sederhana yang menjadi sekretariat KOMPAS-USU. Melainkan, akan merasakan bagaimana rasanya tidur di tempat sederhana dari ikatan jas hujan beralaskan matras yang hanya muat untuk satu orang. Tidur di Bivak sebenarnya, di luar ruangan, dengan angin malam yang sama sekali tak sejuk, nyamuk nyamuk yang semalaman berdesing bising mungkin karena merasa kami adalah santapan yang tak akan terhabiskan, dan kenyamanan yang entah ada di mana bahkan setelah lelah yang tak terdefinisikanpun tak bisa memaksa tubuh terlelap cepat. Berulang kali terbangun, berguling kesana kemari, beberapa kali saling berbisik antar teman memastikan bukan hanya diri sendiri yang terjaga dan tersiksa dengan waktu yang terasa jauh lebih lama malam itu.
Akhirnya pagi menjemput, dan tak perlu memaksa masing masing dari kami untuk bersegera keluar dari tempat tidurnya. Berbenah, olahraga dan sarapan. Urusan pribadi kemudian siap dengan cepat mengejar pagi yang semakin terang. Piket dan Upacara formal pelepasan para calon anggota dan instrukturnya di adakan bersamaan langit yang mulai menggelap dan lama kelamaan benar benar menurunkan hujannya. Apakah kami menyedihkan? Atau malah kami sedang di limpahi rezeki? Hujannya sedikit berlebihan, tapi benar benar merepotkan.
Berjalan berbaris dengan langkah panjang dan cepat, beban yang menjulang tinggi di antara raincoat di punggung masing masing dari kami cukup membuat semua orang menatap keheranan atau ya setidaknya kami memang objek yang tak bisa di abaikan. Tak butuh lama, dengan sebuah angkot kami berhasil sampai di terminal bus menuju lokasi yang sebenarnya. Di dalam angkot itu sebenarnya juga ada cerita menyedihkan yang terselip, seorang kakak yang awalnya hanya sendirian dan harus menerima nasib terjepit di antara beban dan kami yang basah dan entah karena pakaian kami semua terasa besar besar dan menyesakkan. Sejak menyadari keberadaannya, aku berdoa semoga urusannya hari itu di mudahkan karena ketidaknyamanannya selama 15 menit berdesakan bersama kami…
Naik Bus, tak ada yang spesial, lebih lebih sepertinya bus yang super biasa itu tiba tiba jauh lebih nyaman untuk tidur mengingat semalaman tak ada satupun dari kami yang bisa terlelap nyenyak. Perjalan yang hanya satu setengah jam kurang lebih cukup membuat kami semua nyenyak, keenam enamnya, tidur!
Sampai di simpang tongkoh yang di tandai tugu jeruk di pertigaan jalan raya, kami turun. Suhu telah berubah dingin, kami di daerah yang berbeda, dan sudah di kota yang berbeda pula. Perjalanan lapangan sebenarnya di mulai, masing masing mengangkat bebannya dan berbaris berjalan cepat mengikuti kakak kakak instruktur menapaki jalanan yang semakin ke dalam semakin kecil.
Bukan jalan beraspal, hanya tanah berbatu, becek, dan beberapa sampah di antara lahan dan rumah. Kabut yang seakan menari nari di udara membatasi pandangan liat ke enam calon anggota yang sebenarnya tak benar benar perduli dengan pemandangan sepertinya, beban di punggung sudah cukup berat membuat semuanya menunduk fokus untuk berjalan cepat dan tidak merusak barisan.
Hanya lahan perkebunan, geraja, deretan rumah penjual bunga dan kebun lagi. Lintasan kami mengarah ke perbukitan di kaki gunung yang di penuhi lahan perkebunan. Kami berhenti di rumah terakhir di ujung jalan yang paling dekat dengan semak semak pertanda hutan. Itu adalah tempat peristrirahatan pertama, masih belum tengah hari, kami di bebaskan sekaligus di tugaskan untuk bepergian bertemu warga desa. Tugas pertama di lapangan, Sosiologi pedesaan! Melepaskan beban berat dari punggung saja sudah sangat melegakan, saat ini kami di beri waktu secara tidak langsung untuk jalan jalan dan berkenalan, maka ini adalah kegiatan pertama dan yang paling menyenangkan untukku secara pribadi.
Dua kelompok yang terdiri dari masing masing tiga anggota, di ikuti dua orang instruktur yang juga mendokumentasikan apa saja yang akan kami lakukan, dan aku, ada di kelompok 2. Kedua kelompok di minta menyebar, untuk menambah variasi informasi dan sepertinya juga berguna agar tak terlihat seperti anak anak yang memang sedang melakukan penelitian dari pada sedang bersosialisasi.
Pertama tama kami berjumpa dengan bapak pemilik rumah peristirahatan pertama, bukan rumah sebenarnya, hanya pondokan perkebunan tempat beristirahat. Berbincang sesaat kemudian kami berjalan lagi. Tak banyak warga yang melintas, sehingga siapa yang berselisih dapat di ingat dengan mudah. Yaitu seorang bapak paruh baya dengan gerobak dorong merah. Hanya bertegur sapa, sepertinya sedang sibuk. Berjalan lagi, dan mendapati seorang ibu ibu yang lebih tua dari warga sebelumnya, berjalan tergopoh gopoh dengan dua keranjang. Kelompok sebelumnya melewatkannya, tapi ini kesempatan untuk kami.
Ketika anak gadis bertemu ibu ibu, ada hubungan yang dengan mudah di ciptakan, setelah menegur dengan antusias yang lebih bersemangat, ibu itu ternyata ingin ke kebun, dengan nada memohon, aku meminta izin ikut dan ibu itu menerima tanpa penolakan. Berhasil! Salah satu keranjangnya ku bawakan, dan kami berputar arah karena sebelumnya ibu itu memang berjalan kearah asal kami. Dan benar saja, kami kembali ke kebun pertama saat bertemu dengan bapak pemilik pondok peristirahatan. Ternyata, ibu ini adalah saudara si bapak, abang abang yang tadinya juga menegur kami dengan si bapak ternyata adalah anak dari ibu itu. Bahkan, kami juga menjumpai bapak bapak dengan gerobak merah di kebun yang sama sedang berbincang dengan putra ibu itu. Jackpot! Serasa mendapat paket kejutan.
Di mulai dari basa basi memperkenalkan diri dan menceritakan bahwa kami yang bertiga itu adalah anak anak yang baru pertama kali menginjakkan kaki di desa itu, tak tau apa apa, dan berharap tak akan mengganggu waktu bapak ibu bekerja dengan keingintahuan kami yang benar benar hampir tak terbendung, hasratnya sudah ingin mewawancarai, tapi tentu saja itu tak sopan.
Setelah cukup banyak berseda gurau dan basa basi, beberapa informasi dasar mulai terucap, di timpali pertanyaan pertanyaan yang masih bertopik sama, perlahan tapi pasti, jumlah kami yang sama banyak dengan narasumber benar benar berguna karena pada akhirnya, kami mulai berbicang secara pribadi berdua berdua dengan ketiga narasumber.
Aku, bersama bapak berinisial lm yang sebenarnya adalah pendatang dan mendapatkan belahan hatinya di desa itu, menetap setelah jauh sebelumnya ternyata berpengalaman melintasi hampir separuh Indonesia karena bekerja di lautan. Daerah tempat tinggalnya sewaktu kecilpun kebetulan sama denganku, Tanjung Balai. Kota kerang pesisir pantai yang membuat perbincangan kami jauh lebih dekat. Informasi seputar pendatang dan keadaan desa sampai gunungnya banyak ku dapat dari si bapak. Dia masih cukup muda untuk bercerita dengan jelas dan dengan ingatan yang jelas pula.
April, anggota termuda kami mengikuti ibu yang membawa kami kesini, sebut saja ibu n, April dan siibu memetik buah strawberry yang sudah matang. Ya, si ibu memang pemilik kebun strawberry dan termasuk pemilik kebun yang paling tua di daerah itu. Dari si ibu banyak informasi dasar tentang desa juga, walau beberapa informasinya sedikit bias karena si ibu lupa nama atau waktunya.
Amar, ketua kelompok bersama putra si ibu, inisialnya sama seperti Amar, sebutlah bg a, sejak pertama kami datang dia sibuk dengan biji biji kopi yang juga di tanam di sana. Si abang banyak menceritakan tentang keadaan Deleng Barus, gunung yang sebenarnya adalah tujuan utama kami. Dia mengaku, pernah mendaki kesana sendiri dan meletakkan bendera di puncaknya, tapi sayang, bendera itu tak terlihat dari bawah…
Setelah banyak berbincang, kami mohon undur diri mengingat waktu kami terbatas dan kami masih membutuhkan lebih banyak narasumber dan informasi karena sebenarnya kami memang sedang bertugas, bukan hanya jalan jalan saja. Sebelum lebih jauh, kami makan siang bersama kelompok lain. Saling berbagi informasi dan mereka lebih dulu pergi karena masih membutuhkan lebih banyak narasumber, mereka ternyata baru mendapat satu narasumber sedangkan kami tiga, mereka harus lebih bergerak cepat.
Berhubung itu adalah hari Jum’at, akhirnya kedua anggota pria yang kami miliki dari kedua kelompok memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah Sholat Jum’at sedangkan tugas di serahkan pada para wnitanya saja. kami memilih arah jalan yang berbeda lagi, aku dan April segera turun ke daerah yang lebih ramai pemukimannya. Sekali dua kali gagal menarik hati warga, sampai akhirnya kami bertemu dengan seorang ibu muda yang sedang duduk di halaman bersama bayi kecilnya yang  rising kurang enak badan menhadapi suaminya membersihkan lahan setapak di antara pepohonan.
Kami duduk di dekatnya, beberapa kali di datangi anak anak karena daerah itu adalah pemukiman warga yang jauh lebih ramai khususnya dengan anak anaknya. Setelah berkenalan, ibu itu atau lebih nyaman di panggil kakak ternyata juga seorang pendatang, penjual bunga yang berasal dari kota Medan. Pasangannya juga pendatang, tapi keduanya memilih menetap di desa karena mengaku lebih mudah hidup di desa itu dari pada di kota. Perbincangan kali ini lebih singkat, tapi informasi yang kami butuhkan dapat. Segan mengganggu lama karena bayi si kakak sedang kurang enak badan, dan akhirnya kamipun undur diri.
Mencoba mencari cari apa yang bisa di cari, kami mengitari pemukiman desa dan akhirnya berjalan bersama seorang nenek yang ramahnya luar biasa. Dia mengantar kami sampai ke jalan raya dan menunjukkan rumahnya, sempat menawari untuk singgah, tapi waktu kami tak banyak. Dari pada mengantar kami, sepertinya kamilah yang mengantar nenek itu karena akhirnya kami malah pulang dengan jalan yang sama seperti saat pergi untuk menghindari melintasi rumah si nenek dan membuatnya memaksa kami untuk bersinggah lagi sedangkan kami tak sempat.
Merasa informasi cukup, kami segera kembali ke tempat peristirahatan pertama, di jalan kami berjumpa dengan dua anggota kelompok lain dan memilih kembali bersama. Kami juga perlu melaksanakan Ibadah Sholat karena waktu yang di sediakan sudah hampir habis. Dan akhirnya setelah para pria kembali, waktunya Presentasi hasil sosiologi pedesaan kami.
Presentasi sederhana itu di lakukan pukul 2 siang masih di hari yang sama di lahan sekitar pondok. Kedua kelompok bergantian presentasi di wakili satu orang dan langsung mendapat tanggapan serta evaluasi dari instruktur atas kekurangan dan kesalahan yang kami perbuat di pengalaman pertama kami melakukan sosiologi pedesaan.
Dan untuk pengalaman pertama, sedikit kesalahan masih bisa di toleransi dan di harapkan bisa lebih baik di praktek berikutnya. Tugas pertama selesai.

Untuk Calon Mahasiswa


Calon Mahasiswa,

Mahasiswa, artinya seseorang yang aktif belajar dan terdaftar di sebuah perguruan tinggi.
hampir semua orang mau atau juga terpaksa melalui masa masa menjadi seorang Mahasiswa,
entah itu sebagai keinginan pribadi, atau keharusan dan kewajiban semata.
tapi seperti kebanyakan orang, menjadi mahasiswa selalu bersisian dengan dilema,
tentang jurusan apa, kuliah dimana, dan bagaimana cara masuknya.

Untuk yang terakhir di atas adalah sesuatu yang sebenarnya di luar dari kuasa setiap calon itu sendiri,
bagaimana mereka bisa masuk ke dalam sebuah perguruan tinggi dan menjadi bagian dari sana adalah rahasia ilahi yang sesuangguhnya.
tak ada yang bisa menjamin apapun,
toh, tak semua orang pintar lulus dengan mulus,
tak semua orang bodoh tak lulus dengan memalukan,
maka jangan langkahi Tuhan.

Tapi dari pada itu, sebenarnya semua akan kembali pada bagaimana kau memulai pilihan mu dan niat utama mu sebagai seorang calon mahasiswa.

kita sering mendengar ucapan, usaha tak akan membohongi hasil.
tapi di luar itu, niat juga berperan penting.
percayakah dirimu jika niat yang baik akan menghasilkan hasil yang baik,
dan niat yang buruk biasanya selalu menjadi awal dari hitamnya masa depan,

Tak ada yang bisa menjamin apapun,
hanya Tuhan yang tahu apa masa depan setiap manusia.
tapi apa niatmu?
apa niatmu menjadi seorang mahasiswa,
apa tujuanmu,
bagaimana usahamu,
dan Tuhan akan mengatur sisanya.

ini tentang anak anak yang masih bingung dengan apa tujuan hidup mereka
tentang mereka yang juga selalu bimbang dengan perkataan orang orang dewasa dan orang orang sekitarnya
tentang mereka yang selalu takut dengan masa depan dan hal hal yang belum pernah di cobanya.

dan ini tentang perkuliahan hei calon mahasiswa.
perkuliahan berbeda dengan sekolah,
tak akan ada yang memaksamu belajar jika kau tak mau belajar,
tak akan ada pehitungan rangking dan sebagainya sampai kau tak benar benar perduli dengan siapa murid yang paling pintar dan siapa yang paling bodoh.

di setiap perkuliahan, semester satu akan menjadi semester perkenalan,
tak akan dibiarkan kau bodoh sendirian.
tapi kembali pada niatan,
ketika perkuliahan itu menjadi begitu mudah tapi kau tak menyukainya sejak awal,
maka jenuhlah yang akan kau dapatkan.
ketika perkuliahan itu sesulit menelan belut mentah di dalam mulutmu tapi kau memang menginginkannya sejak awal,
maka belut itu perlahan akan menjadi daging panggang yang sedikit alot tapi begitu mengenyangkan.

apa kau percaya mimpi itu bisa jadi nyata,
dan dunia orang dewasa itu begitu mengerikan.
maka saat menjadi mahasiswa kau bisa melihat segala realita dengan sungguh sungguh,
ketika kau bermalas malasan, maka tak akan ada seorang guru yang menaikkan nilaimu,
jika kau begitu rajin juga tak akan ada teman yang dapat melangkahi peringkatmu secara ajaib.

Perkuliahan adalah tentang belajar dengan waktu yang absolut dan seragam warna warni.
menikmati belajar atau mengabaikannya pun tak mengapa.
dan tentang apa yang kau inginkan setelahnya,
cita cita atau hanya sekedar mencari kerja
memenuhi kewajiban atau sekedar gelar sarjana saja
menjadi yang kau inginkan atau yang orang orang pintakan

maka jadilah apa yang mampu kau jalani dan mau kau usahakan.
karena kehidupan pada akhirnya hanya tentang itu,
tentang apa yang INGIN dan MAMPU kau jalani
tentang apa yang MAU dan HARUS kau usahakan.
tak akan ada yang menyulangimu makanan atau nilai seperti saat kau bayi atau masih pelajar,
semua mulai dewasa begitupun realita,
selamat datang di dunia yang kejam,
jangan jadi lemah karena Dunia akan menenggelamkanmu sebelum kau bisa menarik nafas.

The Ma


Aku jatuh cinta setiap hari,
Pada pria yang berbeda,
Lagi dan lagi,

Tapi saat malam tiba,
Aku menangis lagi,
Hanya untuk kematian yang sama,
Padahal hanya sekali.

Tentang cinta pertama yang bukan cinta pertama
Tentang cinta utama yang juga bukan cinta utama
Tentang dia yang di cinta tapi tak mencinta
Tentang dia yang kemudian mati dengan cinta
Tapi bukan aku cintanya-

Aku tertawa setiap hari,
Pada setiap momen yang ada,
Dengan matahari di langit,

Tapi saat malam tiba,
Aku menangis lagi,
Entah kenapa
Aku tak yakin apakah untuk kematian yang sama
Padahal sudah lama,

Tentang penyesalan yang di adakan
Tentang kesengajaan yang tak disengajakan
Tentang kesalahan yang juga tak pernah ada, kan
Tapi aku ada punya kesalahan, kan-

Aku bersama Tuhan setiap hari,
Pada setiap saat yang ku ingat,
Dengan dosa yang tetap melekat,

Tapi saat malam tiba,
Aku tersesat
Masih tersesat
Entah karena apa
Entah karena kematian yang sama
Padahal tak akan bisa apa apa

Tentang Tuhan yang selalu ada
Tentang hamba yang penuh dosa
Tentang manusia yang merindu surga
Tapi berjodoh dengan neraka-

Aku manusia setiap hari,
Biasa saja
Tapi berbeda
Ingin istimewa-