Tugas
Pertama
Pengalaman pertama. Di
dunia ada 1001 hal hal yang belum pernah bersentuhan langsung dengan cerita
kehidupan remaja yang beranjak dewasa. Dan hanya dalam beberapa hari, tumpukan
pengalaman baru itu menenggelamkan remaja remaja yang berani bertaruh dan
memilih berjalan di bawah naungan Kompas yang sebenarnya.
8 Maret 2018, kamis
sore. Keenam calon anggota yang bertahan dengan bayangan teman teman lainnya di
ingatan masing masing heboh memenuhi Carier 60 liter mereka di awasi mata mata
senior yang pastinya tak hanya sekedar mengawasi, tetapi juga menilai dan
memastikan. Setelah selesai berkutat dengan barang pribadi dan kelompok masing
masing, dan pakaian lapangan yang kebanyakan masih baru sehingga kaku membalut
tubuh kami menandakan kami siap di karantina.
Karantina yang dimaksud
tak lebih adalah pertanda bahwa kehidupan pecinta alam yang sebenarnya akan di
mulai sejak malam itu. Dan benar saja, kami berenam di haruskan menginap saat
karantina bukan berarti akan tidur enak di bangunan sederhana yang menjadi
sekretariat KOMPAS-USU. Melainkan, akan merasakan bagaimana rasanya tidur di
tempat sederhana dari ikatan jas hujan beralaskan matras yang hanya muat untuk
satu orang. Tidur di Bivak sebenarnya, di luar ruangan, dengan angin malam yang
sama sekali tak sejuk, nyamuk nyamuk yang semalaman berdesing bising mungkin
karena merasa kami adalah santapan yang tak akan terhabiskan, dan kenyamanan
yang entah ada di mana bahkan setelah lelah yang tak terdefinisikanpun tak bisa
memaksa tubuh terlelap cepat. Berulang kali terbangun, berguling kesana kemari,
beberapa kali saling berbisik antar teman memastikan bukan hanya diri sendiri
yang terjaga dan tersiksa dengan waktu yang terasa jauh lebih lama malam itu.
Akhirnya pagi
menjemput, dan tak perlu memaksa masing masing dari kami untuk bersegera keluar
dari tempat tidurnya. Berbenah, olahraga dan sarapan. Urusan pribadi kemudian
siap dengan cepat mengejar pagi yang semakin terang. Piket dan Upacara formal
pelepasan para calon anggota dan instrukturnya di adakan bersamaan langit yang
mulai menggelap dan lama kelamaan benar benar menurunkan hujannya. Apakah kami
menyedihkan? Atau malah kami sedang di limpahi rezeki? Hujannya sedikit
berlebihan, tapi benar benar merepotkan.
Berjalan berbaris
dengan langkah panjang dan cepat, beban yang menjulang tinggi di antara
raincoat di punggung masing masing dari kami cukup membuat semua orang menatap
keheranan atau ya setidaknya kami memang objek yang tak bisa di abaikan. Tak
butuh lama, dengan sebuah angkot kami berhasil sampai di terminal bus menuju
lokasi yang sebenarnya. Di dalam angkot itu sebenarnya juga ada cerita
menyedihkan yang terselip, seorang kakak yang awalnya hanya sendirian dan harus
menerima nasib terjepit di antara beban dan kami yang basah dan entah karena
pakaian kami semua terasa besar besar dan menyesakkan. Sejak menyadari
keberadaannya, aku berdoa semoga urusannya hari itu di mudahkan karena
ketidaknyamanannya selama 15 menit berdesakan bersama kami…
Naik Bus, tak ada yang
spesial, lebih lebih sepertinya bus yang super biasa itu tiba tiba jauh lebih
nyaman untuk tidur mengingat semalaman tak ada satupun dari kami yang bisa
terlelap nyenyak. Perjalan yang hanya satu setengah jam kurang lebih cukup
membuat kami semua nyenyak, keenam enamnya, tidur!
Sampai di simpang
tongkoh yang di tandai tugu jeruk di pertigaan jalan raya, kami turun. Suhu
telah berubah dingin, kami di daerah yang berbeda, dan sudah di kota yang
berbeda pula. Perjalanan lapangan sebenarnya di mulai, masing masing mengangkat
bebannya dan berbaris berjalan cepat mengikuti kakak kakak instruktur menapaki
jalanan yang semakin ke dalam semakin kecil.
Bukan jalan beraspal,
hanya tanah berbatu, becek, dan beberapa sampah di antara lahan dan rumah.
Kabut yang seakan menari nari di udara membatasi pandangan liat ke enam calon anggota
yang sebenarnya tak benar benar perduli dengan pemandangan sepertinya, beban di
punggung sudah cukup berat membuat semuanya menunduk fokus untuk berjalan cepat
dan tidak merusak barisan.
Hanya lahan perkebunan,
geraja, deretan rumah penjual bunga dan kebun lagi. Lintasan kami mengarah ke
perbukitan di kaki gunung yang di penuhi lahan perkebunan. Kami berhenti di
rumah terakhir di ujung jalan yang paling dekat dengan semak semak pertanda
hutan. Itu adalah tempat peristrirahatan pertama, masih belum tengah hari, kami
di bebaskan sekaligus di tugaskan untuk bepergian bertemu warga desa. Tugas
pertama di lapangan, Sosiologi pedesaan! Melepaskan beban berat dari punggung
saja sudah sangat melegakan, saat ini kami di beri waktu secara tidak langsung
untuk jalan jalan dan berkenalan, maka ini adalah kegiatan pertama dan yang
paling menyenangkan untukku secara pribadi.
Dua kelompok yang
terdiri dari masing masing tiga anggota, di ikuti dua orang instruktur yang
juga mendokumentasikan apa saja yang akan kami lakukan, dan aku, ada di
kelompok 2. Kedua kelompok di minta menyebar, untuk menambah variasi informasi
dan sepertinya juga berguna agar tak terlihat seperti anak anak yang memang
sedang melakukan penelitian dari pada sedang bersosialisasi.
Pertama tama kami
berjumpa dengan bapak pemilik rumah peristirahatan pertama, bukan rumah
sebenarnya, hanya pondokan perkebunan tempat beristirahat. Berbincang sesaat
kemudian kami berjalan lagi. Tak banyak warga yang melintas, sehingga siapa
yang berselisih dapat di ingat dengan mudah. Yaitu seorang bapak paruh baya
dengan gerobak dorong merah. Hanya bertegur sapa, sepertinya sedang sibuk.
Berjalan lagi, dan mendapati seorang ibu ibu yang lebih tua dari warga
sebelumnya, berjalan tergopoh gopoh dengan dua keranjang. Kelompok sebelumnya
melewatkannya, tapi ini kesempatan untuk kami.
Ketika anak gadis
bertemu ibu ibu, ada hubungan yang dengan mudah di ciptakan, setelah menegur
dengan antusias yang lebih bersemangat, ibu itu ternyata ingin ke kebun, dengan
nada memohon, aku meminta izin ikut dan ibu itu menerima tanpa penolakan.
Berhasil! Salah satu keranjangnya ku bawakan, dan kami berputar arah karena
sebelumnya ibu itu memang berjalan kearah asal kami. Dan benar saja, kami kembali
ke kebun pertama saat bertemu dengan bapak pemilik pondok peristirahatan.
Ternyata, ibu ini adalah saudara si bapak, abang abang yang tadinya juga
menegur kami dengan si bapak ternyata adalah anak dari ibu itu. Bahkan, kami
juga menjumpai bapak bapak dengan gerobak merah di kebun yang sama sedang
berbincang dengan putra ibu itu. Jackpot! Serasa mendapat paket kejutan.
Di mulai dari basa basi
memperkenalkan diri dan menceritakan bahwa kami yang bertiga itu adalah anak
anak yang baru pertama kali menginjakkan kaki di desa itu, tak tau apa apa, dan
berharap tak akan mengganggu waktu bapak ibu bekerja dengan keingintahuan kami
yang benar benar hampir tak terbendung, hasratnya sudah ingin mewawancarai,
tapi tentu saja itu tak sopan.
Setelah cukup banyak berseda
gurau dan basa basi, beberapa informasi dasar mulai terucap, di timpali
pertanyaan pertanyaan yang masih bertopik sama, perlahan tapi pasti, jumlah
kami yang sama banyak dengan narasumber benar benar berguna karena pada
akhirnya, kami mulai berbicang secara pribadi berdua berdua dengan ketiga
narasumber.
Aku, bersama bapak
berinisial lm yang sebenarnya adalah pendatang dan mendapatkan belahan hatinya
di desa itu, menetap setelah jauh sebelumnya ternyata berpengalaman melintasi
hampir separuh Indonesia karena bekerja di lautan. Daerah tempat tinggalnya
sewaktu kecilpun kebetulan sama denganku, Tanjung Balai. Kota kerang pesisir
pantai yang membuat perbincangan kami jauh lebih dekat. Informasi seputar
pendatang dan keadaan desa sampai gunungnya banyak ku dapat dari si bapak. Dia
masih cukup muda untuk bercerita dengan jelas dan dengan ingatan yang jelas
pula.
April, anggota termuda
kami mengikuti ibu yang membawa kami kesini, sebut saja ibu n, April dan siibu
memetik buah strawberry yang sudah matang. Ya, si ibu memang pemilik kebun
strawberry dan termasuk pemilik kebun yang paling tua di daerah itu. Dari si
ibu banyak informasi dasar tentang desa juga, walau beberapa informasinya
sedikit bias karena si ibu lupa nama atau waktunya.
Amar, ketua kelompok bersama
putra si ibu, inisialnya sama seperti Amar, sebutlah bg a, sejak pertama kami
datang dia sibuk dengan biji biji kopi yang juga di tanam di sana. Si abang
banyak menceritakan tentang keadaan Deleng Barus, gunung yang sebenarnya adalah
tujuan utama kami. Dia mengaku, pernah mendaki kesana sendiri dan meletakkan
bendera di puncaknya, tapi sayang, bendera itu tak terlihat dari bawah…
Setelah banyak
berbincang, kami mohon undur diri mengingat waktu kami terbatas dan kami masih
membutuhkan lebih banyak narasumber dan informasi karena sebenarnya kami memang
sedang bertugas, bukan hanya jalan jalan saja. Sebelum lebih jauh, kami makan
siang bersama kelompok lain. Saling berbagi informasi dan mereka lebih dulu
pergi karena masih membutuhkan lebih banyak narasumber, mereka ternyata baru
mendapat satu narasumber sedangkan kami tiga, mereka harus lebih bergerak
cepat.
Berhubung itu adalah
hari Jum’at, akhirnya kedua anggota pria yang kami miliki dari kedua kelompok
memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah Sholat Jum’at sedangkan tugas di
serahkan pada para wnitanya saja. kami memilih arah jalan yang berbeda lagi,
aku dan April segera turun ke daerah yang lebih ramai pemukimannya. Sekali dua
kali gagal menarik hati warga, sampai akhirnya kami bertemu dengan seorang ibu
muda yang sedang duduk di halaman bersama bayi kecilnya yang rising kurang enak badan menhadapi suaminya
membersihkan lahan setapak di antara pepohonan.
Kami duduk di dekatnya,
beberapa kali di datangi anak anak karena daerah itu adalah pemukiman warga
yang jauh lebih ramai khususnya dengan anak anaknya. Setelah berkenalan, ibu
itu atau lebih nyaman di panggil kakak ternyata juga seorang pendatang, penjual
bunga yang berasal dari kota Medan. Pasangannya juga pendatang, tapi keduanya
memilih menetap di desa karena mengaku lebih mudah hidup di desa itu dari pada
di kota. Perbincangan kali ini lebih singkat, tapi informasi yang kami butuhkan
dapat. Segan mengganggu lama karena bayi si kakak sedang kurang enak badan, dan
akhirnya kamipun undur diri.
Mencoba mencari cari
apa yang bisa di cari, kami mengitari pemukiman desa dan akhirnya berjalan
bersama seorang nenek yang ramahnya luar biasa. Dia mengantar kami sampai ke
jalan raya dan menunjukkan rumahnya, sempat menawari untuk singgah, tapi waktu
kami tak banyak. Dari pada mengantar kami, sepertinya kamilah yang mengantar
nenek itu karena akhirnya kami malah pulang dengan jalan yang sama seperti saat
pergi untuk menghindari melintasi rumah si nenek dan membuatnya memaksa kami
untuk bersinggah lagi sedangkan kami tak sempat.
Merasa informasi cukup,
kami segera kembali ke tempat peristirahatan pertama, di jalan kami berjumpa
dengan dua anggota kelompok lain dan memilih kembali bersama. Kami juga perlu
melaksanakan Ibadah Sholat karena waktu yang di sediakan sudah hampir habis.
Dan akhirnya setelah para pria kembali, waktunya Presentasi hasil sosiologi
pedesaan kami.
Presentasi sederhana
itu di lakukan pukul 2 siang masih di hari yang sama di lahan sekitar pondok.
Kedua kelompok bergantian presentasi di wakili satu orang dan langsung mendapat
tanggapan serta evaluasi dari instruktur atas kekurangan dan kesalahan yang
kami perbuat di pengalaman pertama kami melakukan sosiologi pedesaan.
Dan untuk pengalaman
pertama, sedikit kesalahan masih bisa di toleransi dan di harapkan bisa lebih
baik di praktek berikutnya. Tugas pertama selesai.
0 komentar:
Posting Komentar