Sabtu, 16 Juni 2018

Record 1 (1/2) - Catatan Perjalanan Calon Anggota


Tugas Pertama

Pengalaman pertama. Di dunia ada 1001 hal hal yang belum pernah bersentuhan langsung dengan cerita kehidupan remaja yang beranjak dewasa. Dan hanya dalam beberapa hari, tumpukan pengalaman baru itu menenggelamkan remaja remaja yang berani bertaruh dan memilih berjalan di bawah naungan Kompas yang sebenarnya.
8 Maret 2018, kamis sore. Keenam calon anggota yang bertahan dengan bayangan teman teman lainnya di ingatan masing masing heboh memenuhi Carier 60 liter mereka di awasi mata mata senior yang pastinya tak hanya sekedar mengawasi, tetapi juga menilai dan memastikan. Setelah selesai berkutat dengan barang pribadi dan kelompok masing masing, dan pakaian lapangan yang kebanyakan masih baru sehingga kaku membalut tubuh kami menandakan kami siap di karantina.
Karantina yang dimaksud tak lebih adalah pertanda bahwa kehidupan pecinta alam yang sebenarnya akan di mulai sejak malam itu. Dan benar saja, kami berenam di haruskan menginap saat karantina bukan berarti akan tidur enak di bangunan sederhana yang menjadi sekretariat KOMPAS-USU. Melainkan, akan merasakan bagaimana rasanya tidur di tempat sederhana dari ikatan jas hujan beralaskan matras yang hanya muat untuk satu orang. Tidur di Bivak sebenarnya, di luar ruangan, dengan angin malam yang sama sekali tak sejuk, nyamuk nyamuk yang semalaman berdesing bising mungkin karena merasa kami adalah santapan yang tak akan terhabiskan, dan kenyamanan yang entah ada di mana bahkan setelah lelah yang tak terdefinisikanpun tak bisa memaksa tubuh terlelap cepat. Berulang kali terbangun, berguling kesana kemari, beberapa kali saling berbisik antar teman memastikan bukan hanya diri sendiri yang terjaga dan tersiksa dengan waktu yang terasa jauh lebih lama malam itu.
Akhirnya pagi menjemput, dan tak perlu memaksa masing masing dari kami untuk bersegera keluar dari tempat tidurnya. Berbenah, olahraga dan sarapan. Urusan pribadi kemudian siap dengan cepat mengejar pagi yang semakin terang. Piket dan Upacara formal pelepasan para calon anggota dan instrukturnya di adakan bersamaan langit yang mulai menggelap dan lama kelamaan benar benar menurunkan hujannya. Apakah kami menyedihkan? Atau malah kami sedang di limpahi rezeki? Hujannya sedikit berlebihan, tapi benar benar merepotkan.
Berjalan berbaris dengan langkah panjang dan cepat, beban yang menjulang tinggi di antara raincoat di punggung masing masing dari kami cukup membuat semua orang menatap keheranan atau ya setidaknya kami memang objek yang tak bisa di abaikan. Tak butuh lama, dengan sebuah angkot kami berhasil sampai di terminal bus menuju lokasi yang sebenarnya. Di dalam angkot itu sebenarnya juga ada cerita menyedihkan yang terselip, seorang kakak yang awalnya hanya sendirian dan harus menerima nasib terjepit di antara beban dan kami yang basah dan entah karena pakaian kami semua terasa besar besar dan menyesakkan. Sejak menyadari keberadaannya, aku berdoa semoga urusannya hari itu di mudahkan karena ketidaknyamanannya selama 15 menit berdesakan bersama kami…
Naik Bus, tak ada yang spesial, lebih lebih sepertinya bus yang super biasa itu tiba tiba jauh lebih nyaman untuk tidur mengingat semalaman tak ada satupun dari kami yang bisa terlelap nyenyak. Perjalan yang hanya satu setengah jam kurang lebih cukup membuat kami semua nyenyak, keenam enamnya, tidur!
Sampai di simpang tongkoh yang di tandai tugu jeruk di pertigaan jalan raya, kami turun. Suhu telah berubah dingin, kami di daerah yang berbeda, dan sudah di kota yang berbeda pula. Perjalanan lapangan sebenarnya di mulai, masing masing mengangkat bebannya dan berbaris berjalan cepat mengikuti kakak kakak instruktur menapaki jalanan yang semakin ke dalam semakin kecil.
Bukan jalan beraspal, hanya tanah berbatu, becek, dan beberapa sampah di antara lahan dan rumah. Kabut yang seakan menari nari di udara membatasi pandangan liat ke enam calon anggota yang sebenarnya tak benar benar perduli dengan pemandangan sepertinya, beban di punggung sudah cukup berat membuat semuanya menunduk fokus untuk berjalan cepat dan tidak merusak barisan.
Hanya lahan perkebunan, geraja, deretan rumah penjual bunga dan kebun lagi. Lintasan kami mengarah ke perbukitan di kaki gunung yang di penuhi lahan perkebunan. Kami berhenti di rumah terakhir di ujung jalan yang paling dekat dengan semak semak pertanda hutan. Itu adalah tempat peristrirahatan pertama, masih belum tengah hari, kami di bebaskan sekaligus di tugaskan untuk bepergian bertemu warga desa. Tugas pertama di lapangan, Sosiologi pedesaan! Melepaskan beban berat dari punggung saja sudah sangat melegakan, saat ini kami di beri waktu secara tidak langsung untuk jalan jalan dan berkenalan, maka ini adalah kegiatan pertama dan yang paling menyenangkan untukku secara pribadi.
Dua kelompok yang terdiri dari masing masing tiga anggota, di ikuti dua orang instruktur yang juga mendokumentasikan apa saja yang akan kami lakukan, dan aku, ada di kelompok 2. Kedua kelompok di minta menyebar, untuk menambah variasi informasi dan sepertinya juga berguna agar tak terlihat seperti anak anak yang memang sedang melakukan penelitian dari pada sedang bersosialisasi.
Pertama tama kami berjumpa dengan bapak pemilik rumah peristirahatan pertama, bukan rumah sebenarnya, hanya pondokan perkebunan tempat beristirahat. Berbincang sesaat kemudian kami berjalan lagi. Tak banyak warga yang melintas, sehingga siapa yang berselisih dapat di ingat dengan mudah. Yaitu seorang bapak paruh baya dengan gerobak dorong merah. Hanya bertegur sapa, sepertinya sedang sibuk. Berjalan lagi, dan mendapati seorang ibu ibu yang lebih tua dari warga sebelumnya, berjalan tergopoh gopoh dengan dua keranjang. Kelompok sebelumnya melewatkannya, tapi ini kesempatan untuk kami.
Ketika anak gadis bertemu ibu ibu, ada hubungan yang dengan mudah di ciptakan, setelah menegur dengan antusias yang lebih bersemangat, ibu itu ternyata ingin ke kebun, dengan nada memohon, aku meminta izin ikut dan ibu itu menerima tanpa penolakan. Berhasil! Salah satu keranjangnya ku bawakan, dan kami berputar arah karena sebelumnya ibu itu memang berjalan kearah asal kami. Dan benar saja, kami kembali ke kebun pertama saat bertemu dengan bapak pemilik pondok peristirahatan. Ternyata, ibu ini adalah saudara si bapak, abang abang yang tadinya juga menegur kami dengan si bapak ternyata adalah anak dari ibu itu. Bahkan, kami juga menjumpai bapak bapak dengan gerobak merah di kebun yang sama sedang berbincang dengan putra ibu itu. Jackpot! Serasa mendapat paket kejutan.
Di mulai dari basa basi memperkenalkan diri dan menceritakan bahwa kami yang bertiga itu adalah anak anak yang baru pertama kali menginjakkan kaki di desa itu, tak tau apa apa, dan berharap tak akan mengganggu waktu bapak ibu bekerja dengan keingintahuan kami yang benar benar hampir tak terbendung, hasratnya sudah ingin mewawancarai, tapi tentu saja itu tak sopan.
Setelah cukup banyak berseda gurau dan basa basi, beberapa informasi dasar mulai terucap, di timpali pertanyaan pertanyaan yang masih bertopik sama, perlahan tapi pasti, jumlah kami yang sama banyak dengan narasumber benar benar berguna karena pada akhirnya, kami mulai berbicang secara pribadi berdua berdua dengan ketiga narasumber.
Aku, bersama bapak berinisial lm yang sebenarnya adalah pendatang dan mendapatkan belahan hatinya di desa itu, menetap setelah jauh sebelumnya ternyata berpengalaman melintasi hampir separuh Indonesia karena bekerja di lautan. Daerah tempat tinggalnya sewaktu kecilpun kebetulan sama denganku, Tanjung Balai. Kota kerang pesisir pantai yang membuat perbincangan kami jauh lebih dekat. Informasi seputar pendatang dan keadaan desa sampai gunungnya banyak ku dapat dari si bapak. Dia masih cukup muda untuk bercerita dengan jelas dan dengan ingatan yang jelas pula.
April, anggota termuda kami mengikuti ibu yang membawa kami kesini, sebut saja ibu n, April dan siibu memetik buah strawberry yang sudah matang. Ya, si ibu memang pemilik kebun strawberry dan termasuk pemilik kebun yang paling tua di daerah itu. Dari si ibu banyak informasi dasar tentang desa juga, walau beberapa informasinya sedikit bias karena si ibu lupa nama atau waktunya.
Amar, ketua kelompok bersama putra si ibu, inisialnya sama seperti Amar, sebutlah bg a, sejak pertama kami datang dia sibuk dengan biji biji kopi yang juga di tanam di sana. Si abang banyak menceritakan tentang keadaan Deleng Barus, gunung yang sebenarnya adalah tujuan utama kami. Dia mengaku, pernah mendaki kesana sendiri dan meletakkan bendera di puncaknya, tapi sayang, bendera itu tak terlihat dari bawah…
Setelah banyak berbincang, kami mohon undur diri mengingat waktu kami terbatas dan kami masih membutuhkan lebih banyak narasumber dan informasi karena sebenarnya kami memang sedang bertugas, bukan hanya jalan jalan saja. Sebelum lebih jauh, kami makan siang bersama kelompok lain. Saling berbagi informasi dan mereka lebih dulu pergi karena masih membutuhkan lebih banyak narasumber, mereka ternyata baru mendapat satu narasumber sedangkan kami tiga, mereka harus lebih bergerak cepat.
Berhubung itu adalah hari Jum’at, akhirnya kedua anggota pria yang kami miliki dari kedua kelompok memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah Sholat Jum’at sedangkan tugas di serahkan pada para wnitanya saja. kami memilih arah jalan yang berbeda lagi, aku dan April segera turun ke daerah yang lebih ramai pemukimannya. Sekali dua kali gagal menarik hati warga, sampai akhirnya kami bertemu dengan seorang ibu muda yang sedang duduk di halaman bersama bayi kecilnya yang  rising kurang enak badan menhadapi suaminya membersihkan lahan setapak di antara pepohonan.
Kami duduk di dekatnya, beberapa kali di datangi anak anak karena daerah itu adalah pemukiman warga yang jauh lebih ramai khususnya dengan anak anaknya. Setelah berkenalan, ibu itu atau lebih nyaman di panggil kakak ternyata juga seorang pendatang, penjual bunga yang berasal dari kota Medan. Pasangannya juga pendatang, tapi keduanya memilih menetap di desa karena mengaku lebih mudah hidup di desa itu dari pada di kota. Perbincangan kali ini lebih singkat, tapi informasi yang kami butuhkan dapat. Segan mengganggu lama karena bayi si kakak sedang kurang enak badan, dan akhirnya kamipun undur diri.
Mencoba mencari cari apa yang bisa di cari, kami mengitari pemukiman desa dan akhirnya berjalan bersama seorang nenek yang ramahnya luar biasa. Dia mengantar kami sampai ke jalan raya dan menunjukkan rumahnya, sempat menawari untuk singgah, tapi waktu kami tak banyak. Dari pada mengantar kami, sepertinya kamilah yang mengantar nenek itu karena akhirnya kami malah pulang dengan jalan yang sama seperti saat pergi untuk menghindari melintasi rumah si nenek dan membuatnya memaksa kami untuk bersinggah lagi sedangkan kami tak sempat.
Merasa informasi cukup, kami segera kembali ke tempat peristirahatan pertama, di jalan kami berjumpa dengan dua anggota kelompok lain dan memilih kembali bersama. Kami juga perlu melaksanakan Ibadah Sholat karena waktu yang di sediakan sudah hampir habis. Dan akhirnya setelah para pria kembali, waktunya Presentasi hasil sosiologi pedesaan kami.
Presentasi sederhana itu di lakukan pukul 2 siang masih di hari yang sama di lahan sekitar pondok. Kedua kelompok bergantian presentasi di wakili satu orang dan langsung mendapat tanggapan serta evaluasi dari instruktur atas kekurangan dan kesalahan yang kami perbuat di pengalaman pertama kami melakukan sosiologi pedesaan.
Dan untuk pengalaman pertama, sedikit kesalahan masih bisa di toleransi dan di harapkan bisa lebih baik di praktek berikutnya. Tugas pertama selesai.

0 komentar:

Posting Komentar