Puncak Pertama
Jum’at 9 Maret 2018
Masih di hari yang sama, saat kami datang ke desa pertama
kali di pagi tadi sebelum tengah hari. dan akhirnya, hari sudah terik menuju
sore, ketika sinarnya semakin terang dan suhunya mulai tak terjelaskan, dingin,
sejuk, bercampur sinar matahari yang tak menyerah mencoba memanaskan kami.
Sosiologi pedesaan selesai, maka tujuan sebenarnya datang ke
daerah itu adalah pemabahasan selanjutnya. Informasi informasi yang kami
dapatkan dari warga desa juga di pergunakan untuk mengetahui bagaimana caranya
memasuki hutan dan mencapai Deleng Barus, gunung yang tak setinggi gunung
gunung besar terkenal lainnya, yang juga sebenarnya adalah gunung merapi muda
dan juga tak seterkenal apalagi seganas gunung gunung besar lainnya.
Peta dan Kompas kini mengambil peran, jika tadi berbincang
bincang dengan bahasa kali ini kami bermain dengan angka. Memastikan arah dan
jalur yang sebelumnya telah di siapkan dari peta maka kenyataannya sungguh
berbeda dengan alam sebenarnya. Masih penuh dengan pengalaman pertama, pertama
kali menggunakan peta di alam sebenarnya, pertama kali mencocokkan objek dipeta
dengan alam sebenarnya, pertama kali mencari jalur dari peta dengan alam
sebenarnya, dan pertama kali kami harus benar benar di pusingkan karena peta.
Kelompok kami, jauh lebih lama dari pada kelompok satunya
dalam menentukan jalaur mana yang harus di capai. Setelah di desak oleh para
instruktur, akhirnya kami memilih mencoba mengambil resiko dari pada hanya
berdiam diri tanpa kepastian. Jalur pertama adalah menerobos semak semak yang
segaris lurus dengan arah Kompas. Dan Gagal! Tertembus, berputar, dan mencoba
cari jalan yang lain dengan tujuan dan arah yang sama, GAGAL lagi! Beberapa
kali, mecoba menerobos dan mencuri curi jalur mana saja yang ada untuk arah
yang sama, masih gagal dan kami akhirnya kembali pada titik pertama.
Percayalah, menggunakan peta dan kompas untuk pertama kali jauh lebih sulit
dari yang terbayangkan.
Atas arahan instruktur, kami mulai mencari jalan mengitar
yang lebih jauh, melewati pohon pinus, masuk ke hutan dan mencari jalan dari
sana dengan arah yang sama. Dan dari pada sebelumnya, jalur dari hutan yang memutar
lebih menunjukkan hasil positif dari pada menerobos semak semak setinggi orang
dewasa yang sama sekali berbeda dengan semak semak yang ada di pinggiran jalan.
Ada beberapa jalan setapak, tapi kami bukan mengikuti jalan,
melainkan menentukan jalan kami sendiri. Mencari perpotongan sungai sebagai
titik awal yang kami tentukan sesuai dipeta, tapi sampai akhir, akmi hanya
bertemu aliran air kecil seperti parit yang tak pernah terbayangkan adalah sungai
yang kami sebut sebut dipeta. Setelah berjalan cukup jauh, perpindahan arah di
kompas dan hutan yang semakin dalam, akhirnya instruktur memberi kesimpulan dan
menambahkan informasi, bahwasanya kami sejak tadi sebenarnya telah melewati
titik yang kami cari cari. Walau merasa bodoh dan masih belum terlalu mengerti
sebenarnya jalan mana yang benar, setidaknya yang kami cari telah kami dapati.
Titik A, perpotongan dua sungai yang sama sekali tidak terlihat seperti sungai
itu telah di temukan secara samar samar dan itu cukup membuat kami di izinkan
kembali ke peristirahatan pertama.
Sore sudah benar benar datang, setelah sedikit instruksi dan
arahan, kami di berikan waktu untuk mendirikan Bivak kami masing masing di
sekitaran pondok, sekaligus waktu untuk makan yang artinya juga memasak. Tak
banyak waktu, semua membagi tugas, dan masing masing sibuk dengan kelompoknya.
Anak anak baru yang masih belum sadar dengan keutuhan kelompok sebenarnya
bukanlah kelompok kecil yang ada di dalam kelompok kami, melainkan kesuksesan
kami ber enam secara keseluruhan. Dan sore itu kami baru menyadarinya.
Bivak yang sulit di bangun, kompor yang hidup mati karena
baru pertama kali memasak menggunakannya, di tambah suhu dingin dan waktu yang
mengejar, kami jauh lebih cemas dan kacau dari mencari jalur. Dan benar, kami
terlambat. Evaluasi di lakukan di dalam pondok dengan penerangan dari headlamp
dan senter. Instruktur memberikan kami teh hangat dan masing masing dari kami
menjelaskan apa yang kami alami dan rasakan sejak malam karantina hingga hari
itu sampai di desa.
Kurang lebih pukul 9, kami di persilahkan istirahat di luar,
di bivak kami masing masing dengan suhu yang sekarang benar benar terasa
dingin. Ada beberapa kejadian sebelum tidur, mulai dari anjing warga penjaga
lahan yang sempat heboh menggonggong karena salah paham mengira kami penyusup
dan entah karena apa dia kemudian menghilang begitu saja, sampai aku, ya aku!
Benar benar kedinginan sampai menggigil dan hampir terkena masalah kalau bukan
karena ada beberapa teman yang berhasil bangun karena suara lirih dari aku yang
sudah tak bisa apa apa dan akhirnya harus beristirahat di pondok. Pribadi, aku
memang tak tahan dingin, dan sepertinya belum mampu menyesuaikan diri dengan
alam. Masih pertengahan malam, dan aku sudah menggigil bergetar, setelah
akhirnya menyerah dengan kondisi fisik yang lemah, aku berintirahat sendiri di
pondok sedangkan teman teman yang lain di luar, maaf untuk itu, tapi pukul
04.45 dini hari, walau masih dengan dingin yang tak bersahabat, aku jauh lebih
baik dan mengambil peran untuk membangunkan semua anggota. Menyegerakan memasak
dan membereskan barang walau pada akhirnya, kami masih terlambat, setidaknya,
pagi itu kami sarapan dengan benar dari pada makan malam yang penuh masalah
hanya karena kompor yang belum bisa di atasi.
Sabtu
10 Maret 2018
Pagi datang dengan cepat, setelah pemanasan dan arahan, kedua
kelompok bergerak terpisah, memastikan beberapa saat arah jalur yang telah kami
cari di hari Jum’at menjadi jejak yang kami lalui lagi. Berharap mengulang
kesuksesan tak jelas di hari sebelumnya, akhirnya kami memang gagal lagi. Kami
berjalan terlalu jauh, dua kali bolak balik menyusuri jalan setapak dan
akhirnya mulai mendaki. Jalur dan treknya mulai bervariasi. Tak ada jalan
setapak yang harus kami ikuti, melainkan harus menciptakan jalur sendiri dan
sekuat tenaga mengabaikan jalur jalur yang sudah ada. Masih bersama kesulitan
dan kebingungan, kurang paham membaca bentang alam dan arah yang jelas namun
tak di mengerti membuat perjalanan jauh lebih lambat dan memakan waktu lebih
lama dari seharusnya.
Semakin jauh berjalan, salah satu anggota kami mulai
kelelahan, dan masalah di perjalananpun di mulai. Sembari bingung menentukan
jalur, teman yang kelelahan juga menjadi hambatan bagi kelompok. Tapi kami
harus tetap pergi, tak ada pilihan selain terus melanjutkan perjalanan. Di
sana, pelajaran paling utama dalam perjalanan akhirnya kami dapatkan. ‘memaksa
diri’. Jika selama ini, aku lebih sering
mendengar kata kata ‘jangan paksakan dirimu’, maka kali ini, ‘paksakan terus
dirimu’ adalah kata kata yang paling sering kami ucapkan. Di alam, tak ada
diskriminasi dan belas kasihan. Jika bukan diri sendiri, maka tak ada yang bisa
di harapkan untuk menyelamatkan diri. Sembari saling menyemangati, instruktur
terus mengikuti kemanapun kami pergi. Beberapa kali memberi waktu istirahat
untuk mengumpulkan tenaga, dan masih belum menemukan titik terang dari tujuan
kedua kami, yaitu titik B, kami sudah menghabiskan waktu setenga hari.
“Tapi, di tengah tengah perjalanan.
Dengan segala kesusahan dan masalah yang kami hadapi, untuk ku, di dalam hati
yang paling dalam, aku sedang bersorak girang karena apa yang sedang aku
lakukan. 19 tahun sudah hidup di dunia ini, ini adalah pertama kalinya aku benar
benar memasuki hutan, mendaki dan menapaki jalur jalur di hutan yang
sebenarnya, bukan hutan perkebunan bahkan ini adalah gunung yang nyata. Walau
memang bukan gunung yang besar, tapi siapa yang peduli. Yang selama ini aku
impikan adalah, meihat langit di antara pepononan rapat dan berjalan di tanah
yang juga di penuhi semak semak. Walau hanya sebuah mimpi dan hal yang
sederhana, tapi percayalah, saat itu, aku bahkan mungkin sama senangnya saat
berhasil memenangkan kontes busana muslim tingkat provinsi dan menjadi pemenang
satu satunya emas dari kotaku yang tak pernah bisa kubayangkan. Melewati jalur
yang bersebelahan langsung dengan jurang, akar akar besar yang menjulur dari
atas dan bawah tanah, pohon pohon besar dengan batang dan akar yang tak bisa ku
jelaskan hanya dengan kata kata, tumbuhan tumbuhan seperti spons dan beragam
jamur warna warni. Segala serangga termasuk pacat yang menjijikkan dan ulat
ulat berbagai ukuran, sesaat aku merasa seperti berada di lautan dalam versi
daratan yang indahnya mengalahkan segala beban dan lelah di tubuh.
Walau terdengar melebih lebihkan,
ini adalah sudut pandang dari seseorang yang telah lama bermimpi dan mimpinya
jadi kenyataan. Mimpi sedehana dari seseorang yang sebelumnya hanya dapat
menatap gambar hutan dan pepohonan, dan kali ini bisa mencium bau hutan dan
udara yang dingin dalam kenyataan. Bahkan sepertinya, aku menemukan beberapa
spot seperti yang ku lihat di game dan gambar dihutan itu, dan aku hampir
berteriak kegirangan menginjakkan kaki di sana.
Maka sungguh, nikmat tentang
menggapai mimpi itu bukan hanya tentang menjadi seseorang yang kau cita
citakan. Mimpi sederhana seperti ini juga sesuatu yang terkadang tak bisa di
lupakan dan hanya di mengerti oleh diri sendiri. Tapi itulah yang kurasakan.
mungkin tak semua bisa mengerti, dan memang tak harus di mengerti orang lain.
Karena apa yang kurasakan adalah kenikmatan untuk diri sendiri dan yang mau
mengerti saja.”
Di perjalanan kami bertemu dengan kelompok lainnya yang
sepertinya juga kesusahan dan kesulitan. Arah dan jalur kami kebetulan sama,
maka beberapa saat kami berjalan bersama. Dengan sedikit emosi yang berbeda antar
teman, sepertinya alam benar benar menunjukkan siapa kami sebenarnya, membuat
perjalanan itu di penuhi ketegangan. Sampai akhirnya makan siang, pelan pelan,
kami saling bercanda, tak ingin menambah masalah di antara segudang masalah di
perjalanan pertama kami. Perjalanan berikutnya kami kembali berpisah, dan teman
yang lemah semakin lemah. Baik instruktur dan kami anggota yang lain, tak
berhenti menyemangati teman kami. Tak ada pilihan untuk berhenti apalagi
menyerah. Seharusnya hari ini kami sampai di puncak, dan waktu yang kami lewati
telah jauh melampaui waktu yang di tentukan.
Jalur yang semakin menanjak, suhu dingin dan hujan yang
datang silih berganti sesuka hati. Tanpa sadar, seluruh pakaian kami basah
kuyup. Di penuhi lumpur dan kotor. Tapi, setidaknya, perjuangan itu benar benar
berhasil dan tak ada masalah fatal. Pukul 3 sore kami sampai di titik B. menuju
ke titik titik berikutnya jauh lebih singkat, tapi kami benar benar tak bisa
mengejar puncak di satu hari yang sama. Dan akhirnya, Camp kedua di letakkan di
puncak bohong, puncak gunung yang bukan puncak sebenarnya, yaitu dataran
tertinggi kedua selain puncaknya yang sesungguhnya.
Dingin karena basah, dingin karena dataran tinggi, dingin
karena memang suhu di sana sudah dingin, sekali lagi, dan kali ini benar benar menjadi
masalah untuk diriku pribadi. Hanya berhenti sebentar, untuk arahan dan nafasku
sudah tersenggal. Masalah yang membuatku selama ini tak pernah bisa pergi ke
gunung, yaitu sesak nafas karena udara dingin yang tak tertahankan. Tapi
untunglah, instruktur kami jauh lebih sigap dari yang kubayangkan. Oksigen dari
mereka benar benar membantu, bahkan untuk semalaman yang kulewati di tempat
yang lebih dingin dari pada sebelumnya sama sekali tak membawa masalah yang
sama untuk kedua kalinya.
Untuk malam ini, kami setuju mendirikan bivak kelompok, kami
berendam akan tidur di bivak yang sama dengan pembatas sleepingbag masing
masing. Tak ada yang perlu di khawatirkan mengingat tak ada yang sempat
berfikir aneh aneh di situasi dan kondisi seperti itu, toh, masing masing tidur
di dalam kepompongnya sendiri sendiri.
Setelah evaluasi yang di adakan di tempat yang sama, akhirnya pukul
setengah sepuluh kami semua sudah masuk ke bivak, jauh lebih cepat tidurnya
karena dingin yang luar biasa.
Minggu
11 Maret 2018
Pagi juga sepertinya datang lebih cepat, hampir dari kami
semua terlambat bangun dan sulit bergerak karena dingin yang tak terkatakan
lagi. Tapi, tak bisa berlengah lengah bahkan secepat apapun kami berusaha, pada
akhirnya kami masih terlambat lagi. Pagi itu, kami jauh lebih terlambat dari
yang sebelumnya, dan cukup menambah deretan hutang konsekuensi yang harus kami
bayar karena terlambat selama ini.
Tapi tak lama lama, mengingat hari ini kami harus sampai
puncak dan harus kembali pulang juga, maka perjalanan kembali di mulai.
Kelompok kami lagi lagi lebih lama dalam menentukan jalur, tapi siapa sangka,
karena keadaan jalur yang menurun, hanya 10 menit kami sampai di titik
berikutnya. Yaitu lebahan di antara dua puncak.
Setelahnya, kami melanjutkan perjalanan untuk menuju puncak
yang sebenarnya, kembali mendaki, dan jalur lebih buruk, lebih curam, banyak
batang batang pohon dan tanah basah di sana sini. Salah satu angota kami
kembali bermasalah dengan kelelahan bahkan jauh lebih cepat dari sebelumnya,
maka cobaan untuk grup kembali lagi. Tapi, tak ada yang mau menginap semalam
lagi, maka satu satunya jalan adalah secepat cepatnya sampai di puncak, dan
secapt cepatnya sampai kembali. Itu adalah satu satunya pilihan.
Menarik, menyemangati dan mendorong terus teman kami adalah
hal terakhir yang dapat kami lakukan, dan syukurlah, tak sampai tengah hari,
kami sampai di puncak, yang di tandai dengan sebuah pilar yang berbentuk segi
empat dan ada beberapa angka dengan makna tersirat terukir di sana. Pada kenyatananya,
kami telah melewati puncak tertinggi untuk mencapai pilar yang tak dibangun di
puncak sebenarnya. Dengan alasan dan tujuan tertentu pilar itu di bangun di
dataran yang sedikit lebih rendah dari puncak sebenarnya.
Setelah menikmati keberhasilan pertama kami mencapai tempat
itu, maka masalah berikutnya adalah jalan pulang. Namun, ada kebahagiaan
sederhana terjadi di sana, instruktur kami memberikan kami hadiah kecil yang
sudah termasuk istimewa sebenarnya untuk kami karena mungkiiiin, kami telah
berhasil sampai di puncak.
Perjalanan pulang di pimpin langsung oleh instruktur. Tak
perlu repot mencari jalan menggunakan peta dan kompas, kami hanya perlu
megikuti instruktur kami, tapi ternyata itu juga tak mudah. Lagkah instruktur
kami yang sebenarnya adalah wanita ternyata jauh lebih cepat, bahkan ketua tim
kami tak ada yang bisa mengejar, ditambah teman kami ada yang benar benar
lambat maka perjalanan pulang itu terasa seperti kejar kejaran yang tiada
akhir.
Berhenti beberapa kali, untuk makan siang sampai pembagian
beban, berharap itu akan membantu teman yang jalannya lebih lambat dari kami
semua, dan ya, secara pribadi karena aku berjalan dengannya sejak awal, dia
memang lebih cepat walau kata senior, itu masih lambat.
Jalurnya sedikit berbeda dari jalur naik, tapi menuruni
gunung jauh lebih berat sepertinya dari pada naik, karena jalan jalan yang
sebelumnya di panjat harus di turuni, entah bagaimana menjelaskannya, tapi kami
jauh lebih sering tersungkur dan terjerembab saat turun dari pada naik. Baik
pacat, duri, air, dan lumpur, tak ada yang perduli lagi. Tubuh kami sudah pasti
memar memar, terantuk sana sini dan terbentur kemana mana, di tambah beban yang
beratnya sudah dua kali lipat karena tas yang basah benar benar terasa seperti
perjuangan, tapi itu adalah pengalaman pertama.
Pukul 3 sore kurang lebih, akhirnya kami melihat cahaya yang
berbeda, bukan cahaya matahari yang terus terusan terhalang oleh pepohonan
rimbun, tapi cahaya matahari yang langsung mencapai tanah karena kami telah
sampai di desa.
Entah bagaimana leganya, akhirnya sudah benar benar keluar
dari hutan yang awalanya sangat ingin kami masuki, sudah sampai , dan
perjalanan berikutnya bukan lagi masalah yang berarti.
Di peristirahatan pertama, instruktur yang sebelumnya tidak
ada kali ini terlihat di sana, sepertinya mereka menyusul untuk mengiringi
pulang. Hanya sedikit pengarahan dan penyambutan dengan buah strawberry pemeberian
warga, akhirnya kami benar benar pulang dengan berjalan kaki menuju simpang
tongkoh, dan dengan, keadaan baju dari ujung kepala sampai kaki kotor dan
lembab. Sama seperti saat pergi, kami menunggu bus di pinggir jalan yang entah
mengapa kali ini benar benar lama. Hampir lebih satu jam kami menunggu bus dan
menjadi objek tontonan orang orang yang lalu lalang di pinggir jalan. Dan
setelah dapat, tak sekaligus semuanya pulang di satu bus, setengah dari
isntruktur harus menunggu bus berikutnya, sedangkan kami berenam dan 4
instrutur yang juga menemani kami mendaki pulang lebih dulu.
Perjalanan pulang kami isi dengan tidur. Lelah dan segala
syukur akhirnya bisa pulang tertuang dari lelapnya kami semua selama perjalanan
sampai suhu mulai menjadi hangat saat memasuki kota medan.
Sampainya di simpang pos, hari sudah gelap, dan kami
berhenti menunggu instruktur lain yang sednag dalam perjalanan. Setelah semua
berkumpul di satu bus, kami di antar oleh bus yang sama sampai ke sekretariat
organisasi. Sesampainya di sana, di adakan evaluasi dengan seluruh instruktur
dan senior. Kurang lebih pukul sembilan kurang, kami selesai melakukan kegiatan
lapangan dan di izinkan pulang dengan tugas baru yaitu membuat laporan. Tapi
itu adalah cerita berikutnya, yang setidaknya, kegiatan lapangan yang
sebenarnya telah berhasil di lewati, dan seperti kata kebanyakan senior kami,
‘perjalanan yang berhasil bukan perjalanan sampai kepuncak, tapi saat yang
pergi dapat kembali pulang dengan selamat dan tanpa kekurangan sesuatu apapun’.
Maka, dengan kategori itu, perjalanan pertama kami telah berhasil.